Anak sebagai "Provokator"

Mengapa saya memilih judul tulisan ini sebagai sesuatu yang tak enak dibaca?   Saya sendiri tak menginginkan hal ini terjadi dalam dunia nyata dan dunia pendidikan di Jakarta, Indonesia khususnya.

Namun, ketika saya menghadiri suatu forum diskusi mengenai "Komunikasi Suami Istri" terlontar dari nara sumber  suatu kalimat yang membuat saya tersentak "Anak sebagai Provokator".

Kalimat itu kelihatannya mengandung sesuatu yang negatif.  Tetapi jika dikaji lebih dalam, itu hanyalah kalimat untuk penegasan adanya kondisi dimana anak menjadi provokator karena komunikasi suami istri tidak terjalin dengan baik.   Contoh singkat:   Anak harus mendaftarkan diri untuk suatu kursus di suatu Lembaga Bahasa.  Seharusnya anak mengetahui apa syarat-syarat pendaftaran. Tetapi anak ini tak punya kreativitas dan tak bisa mengenali apa yang menjadi kewajibannya.  Dia datang ke Lembaga diantar oleh ibunya.   Ketika di bagian pendaftaran ditanya mana KTP atau SIM anda?  Dia lalu bertanya kepada ibunya:  "Bu, apakah engkau membawa KTP atau SIM saya?"  Ibunya menjawab:  "Tidak, saya tak membawa KTPmu".   Lalu, terjadi penolakan pendaftaran.    Ibunya dengan agak kecewa berkata: "Nak, jika engkau mau daftar sesuatu, tentu harus ada syarat-syarat pendaftaran dan itu harus dipenuhi".

Namun, apa yang terjadi di rumah sangat berbeda.  Sang anak bercerita kepada ayahnya:  "Pak, tadi saya ditolak oleh bagian pendaftaran karena tak membawa KTP. Lalu ibu ikut menampar muka saya karena saya tak bawa apa-apa".    Ibunya sangat kaget mendengar perkataan anaknya.   Ibunya segera menyambung dan memberikan afirmasi: "Saya tak memukul sama sekali".     "Iya, Pak, kata anaknya.
Seolah-olah sang anak tahu benar apa kelemahan dari ayahnya jika dia mendengar tentang pemukulan, dan terjadi perang antara ayah dan ibu.

Penyebab utama dari masalah ini adalah komunikasi suami istri. Jika komunikasi tak berjalan lancar, ada lubang-lubang kelemahan orangtua yang sering digunakan anak untuk mengambil keuntungan.
Oleh karena itu diharapkan adanya komunikasi jujur,menghargai,terbuka dan kualitas yang baik antar suami istri.

Apa itu komunikasi yang baik?
Memberikan waktu khusus
Setiap hari masing-masing pasangan baik itu istri maupun suami mempunyai kegiatan yang tak mungkin dilakukan bersama.  Adakan waktu khusus untuk membangun komunikasi dengan demikian tercipta keintiman. Mengapa tiap hari?  Karena tiada hari yang sama dengan hari ini , kemarin atau lusa. Ada hal yang lain yang dialami oleh masing-masing pasangan.

Komunikasi dua arah
Mengutarakan perasaan, ide, gagasan serta mendengar dan didengar adalah hal yang sangat penting untuk terjalin komunikasi dua arah.  Jika perlu menggali perasaan dan pikiran, tak puas dengan jawaban pendek.  Jika ada jawaban pendek cari strategi jitu cara menggali untuk komunikasi yang lebih lanjut.

Peduli dengan pikiran perasaan
Ketika perasaan dan pikiran dikemukakan, jangan berdebat lebih dahulu, atau saling menyalahkan.  Mendengarkan dulu pikiran dan perasaan itu dan menempatkan perasaan dan logika bersamaan.  Sama pentingnya logika dan perasaan itu.   Orang akan merasa lebih dihargai jika perasaannya dimengerti/dipahami walaupun itu tidak disetujui.   Ketika semua sudah sepakat untuk satu persetujuan, barulah kemukakan persetujuan itu kepada pihak ketiga misalnya   anak.  Dalam hal ini, anak tidak akan menjadi "PROVOKATOR".   Anak tak melihat lagi celah-celah kelemahan orangtuanya karena orangtuanya sudah mempunyai kesepakatan total dan bulat.

Membangun kejujuran
Relasi yang sangat intim tak bisa dibangun dengan suatu kebohongan.  Membiasakan diri untuk terbuka dan jujur kepada pasangan berarti memberikan kesempatan untuk saling mengenal lebih baik seiring waktu dan pengalaman.


Share
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...