"Marriage is a total commitment and sharing of the total person with another person until death"- Wayne Marck
"Aku Berjanji Akan Setia kepada suami, baik di masa Bahagia maupun masa sulit".
Janji suci itu dicucapkan kepada Tuhan dan umat yang menyaksikan pernikahan suci di gereja.
Indahnya latar belakang suasana
Gereja itu sangat indah, penuh dengan
bunga-bunga gladiol berwarna putih dan merah muda, dekorasi yang serasi dengan
keinginanku dan keindahan yang ingin
kuwujudkan dalam acara suci pada
hari pernikahanku.
Aku merasa sudah cukup matang dan
tekad bulat untuk datang menyatakan janji setia
di hadapan Tuhan melalui imam yang meneguhkan pernikahan kami di hari
yang sangat keramat dan besar itu.
Seindah janji suci, itulah
harapan yang aku layangkan dalam langkah hidup pernikahanku. Janji suci itu harus diingat terus dan
dilakukan dan terus dibayangkan apabila kami memasuki pernikahan yang ternyata
tidak mudah.
Tahun pertama hingga tahun kelima
adalah tahun yang sangat sulit untuk adaptasi pribadi kami, aku memang type
orang yang mudah bergaul dengan teman-temanku. Aku mempunyai banyak teman, baik
teman kantor, gereja maupun teman komunitasku.
Sementara, suamiku type orang pekerja keras dan sering tak menyukai hang
out atau yang disebut kumpul-kumpul dalam komunitas.
Jika aku ingin datang, dan minta
dia menemaniku seperti dia menemaniku pada waktu pacaran, ternyata
ditolaknya. Mulai dengan cara
halus, “Aku banyak kerja yang harus
diselesaikan” sampai kepada “Kamu pergi
saja sendiri, buang waktu saja berkumpul dengan teman-teman”.
Mula-mula penolakan itu mengiris
perasaanku. Aku terhenyak, jadi buat apa
menikah jika datang ke tempat teman , pernikahan orang lain harus
sendirian.
Bertambah berat lagi ketika aku
mencoba merubah sifat dan sikapnya yang seringkali tak sesuai dengan
keinginanku. Aku ingin dia jadi “outgoing “ dan “ramah” seperti diriku. Namun,
itu hanya kemustahilan. Merubah
diri sendiri saja sulit apalagi merubah diri orang lain. Aku sedikit frustrasi, tapi aku belajar
banyak untuk mengerti dan memahami apa arti hidup bersama. Menerima orang lain sebagaimana kelemahan dan
kelebihan dirinya.
Menjelang masa pernikahan keenam
hingga ke sepuluh, ketika kami dikarunia putri tercinta, kami sangat
bahagia Kami merasa sudah lengkap
pernikahan kami dengan hadirinya anak.
Benturan-benturan keras terjadi
kembali, pola asuh suami yang berlawanan dan berbeda dengan diriku
terjadi. Aku menerapkan kedisplinan dan
kemandirian kepada anakku. Tetapi suamiku
lebih memanjakan anaknya karena dia sangat sayang anak perempuannya sebagai
tumpahan kasih sayang karena dirinya kehilangan ibunya ketika masih kecil. Kami sering bertengkar di depan anak
kami. Aku sebenarnya tak setuju dengan
pertengkaran di depan anak. Tetapi emosi kami hampir taktertahankan ketika kami
bertengkar langsung meledak.
Hari demi hari kami belajar untuk
terus menyesuaikan kelemahan masing-masing pribadi. Sampai suatu hari serasa dunia runtuh
datang bagaikan petir menyambar dan menimpa diriku. Suamiku di vonis kanker prostat.
Menjumpai suami yang sering sulit dan tidak tuntas ketika buang air kecil. Kesulitan itu terus terjadi,
bahkan ketika tubuhnya makin kurus dan tak suka makan.
Akhirnya ,diagnosis dokter melaporkan
adanya penyakit kanker prostat dalam
tubuh suamiku. Aku tak pernah berpikir bagaimana hal itu terjadi dengan suamiku. Kenapa bukan diriku.....
Dalam kesendirianku, aku
sering mendengar apa yang telah
kunjanjikan di hadapan Tuhan, dalam senang dan duka aku harus
mendampinginya. Aku menghadapinya saat
itu. Pagi hari sebelum matahari terbit,
pukul 5.30 aku harus berangkat bekerja, bersama anakku , mengantarkannya ke sekolah
dan langsung ke kantor. Perjalanan
sepagi itu harus kujalani agar aku tak terjebak macet dan terlambat ke
kantor. Di kantor , pekerjaan seringkali
begitu banyak menyita waktu , tak sempat memikirkan kesedihanku. Usai kantor aku harus lari ke rumah sakit
dimana suamiku dirawat. Ketika kondisi
tubuhnya makin kritis, aku menjagai dan tidur di rumah sakit, tubuhku makin
kering, aku kurang tidur,makanan, pikiran yang menghantui diriku. Jika seandainya aku harus hidup sendiri dan
membesarkan anakku, mampukah aku berjalan sendiri.....
Saat manusia telah selesai dengan
tugasnya, panggilan Tuhan memang tak
bisa dihindari. Kemanusiaanku melawan,
aku tak menerima kenyataan hidup yang kualami.
Hidup pernikahanku kurasakan belum cukup, tapi DIA telah merenggut
suamiku tercinta. Kembali ke haribaanNya.
Aku memang pasrah, tapi dalam
kepasrahan itu masih terlihat bayang-bayang gelap terus menghantui diriku.
Mampukah aku jalan sendirian..................
Selamat kepada Mbak Uniek dan suami yang telah melangsungkan ulang tahun pernikahan yang ke 10.